Pendidikan guru pada era Kolonial Belanda, untuk mengajar sekolah rakyat (Volkschool) dengan kurikulum membaca, menulis, dan berhitung, hanya dibutuhkan kursus selama dua tahun bagi seorang lulusan sekolah dasar.

Saat ini, sejak munculnya UU 14/2005 pgri jateng tentang Guru dan Dosen, setiap guru, baik tingkat TK, SD, SMP, maupun SMA, wajib memiliki kualifikasi akademik dari pendidikan tinggi. Sebelumnya, hanya guru yang akan mengajar SMP atau SMA saja yang harus bergelar sarjana atau program diploma empat.

Potret perkembangan pendidikan guru di Indonesia, dapat dibagi dalam empat periode, yaitu pendidikan guru pada era Hindia Belanda, penjajahan Jepang, awal kemerdekaan hingga Orde Lama berakhir, dan Orde Baru hingga Reformasi.

Era Hindia Belanda

Mochtar Buchori dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia dari Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998 (2009) menyebutkan, terdapat empat jenis pendidikan bagi calon guru sekolah dasar pada zaman Hindia Belanda yang dapat dikelompokkan menjadi dua.

Pertama, sekolah guru untuk mereka yang akan mengajar di sekolah rendah pribumi dengan pengantar bahasa Belanda. Dalam kelompok pertama ini, terdapat Kweekschool dan Hogere Kweekschool (HKS) yang kemudian diubah menjadi Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK).

Kedua, sekolah guru untuk mereka yang akan menjadi guru pada sekolah rendah pribumi dengan bahasa pengantar salah satu dari bahasa-bahasa daerah, seperti Jawa, Sunda, Melayu atau Bugis. Dari kelompok kedua ini, terdapat Cursus voor Volksschool Onderwijzers (CVO) yang kemudian diubah menjadi Opleiding voor Volksschool Onderwijzers (OVVO) serta Normaalschool atau juga disebut sebagai Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers.

Kweekschool negeri pertama didirikan pada 1852 di Solo oleh Pemerintah Hindia Belanda. Jauh sebelumnya, telah didirikan Kweekschool oleh penyebaran agama Kristen (zending) di Ambon pada tahun 1834. Pada tahun 1871, muncul peraturan yang menyatakan bahwa pengadaan sekolah dasar bumiputra harus didahului oleh pengadaan tenaga guru. Atas dasar peraturan itulah, Kweekschool kemudian diperbanyak. Beberapa Kweekschool didirikan, antara lain di Tondano pada tahun 1873, Ambon (1874), Magelang , Probolinggo, Banjarmasin (1875), Makassar (1876), dan Padang Sidempuan (1879).

Murid yang diterima di Kweekschool adalah mereka yang telah tamat dari sekolah pemerintahan untuk anak-anak pribumi, berumur paling tidak 12 tahun, dan berasal dari keluarga baik-baik. Namun di kemudian hari, mereka yang dapat diterima di Kweekschool ini hanya mereka yang telah tamat kelas VII HIS. Lama studi di Kweekschool ini ditempuh selama 4 tahun.

Awalnya, bahasa Belanda hanya merupakan salah satu mata pelajaran di Kweekschool. Namun, sejak 1915, bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar di Kweekschool. Tamatan Kweekschool kemudian dapat mengajar di Hollands-Inlandse School (HIS).

Lulusan Kweekschool diberi gaji yang disamakan dengan gaji seorang asisten wedana, sebesar 50 gulden hingga 150 gulden per bulan. Lulusan Kweekschool pun mendapat gelar resmi, yakni “mantri guru”, yang memberikan mereka kedudukan yang nyata di kalangan pegawai pemerintah lainnya. Selain itu, mereka juga berhak untuk menggunakan payung, tombak, tikar, dan kotak sirih menurut ketentuan pemerintah. Mereka juga mendapat biaya menggaji empat pembantu untuk membawa keempat lambang kehormatan itu. Tanda-tanda kehormatan itu membangkitkan rasa hormat, termasuk murid-muridnya sendiri, khususnya anak-anak kaum ningrat.

Selain Kweekschool, terdapat pula Hogere Kweekschool (HKS) yang pada tahun 1927 diganti menjadi Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK). Perubahan tersebut mengikuti perubahan fokus pendidikan di HIK, yakni dari tekanan pada penguasaan bahasa Belanda secara sempurna menjadi pengembangan pengetahuan secara luas.

Pendidikan di HIK ditempuh selama enam tahun. Sama seperti Kweekschool, lulusan HKS maupun HIK kemudian dapat mengajar di sekolah HIS, tetapi dengan gaji lebih besar, sekitar 175 gulden per bulan.

Di sisi lain, terdapat sekolah calon guru sekolah dasar yang nantinya akan mengajar di sekolah rakyat (Volkschool), yakni Cursus voor Volksschool Onderwijzers (CVO) yang kemudian diubah menjadi Opleiding voor Volksschool Onderwijzers (OVVO). Program CVO berupa kursus selama dua tahun. Mereka yang diterima sebagai peserta kursus ialah mereka yang sudah tamat kelas V dari Sekolah Pribumi Kelas II (Tweede Inlansche School/TIS), Vervolgschool, atau Standaardschool.

Metode pembelajaran yang dipakai ialah melihat dan meniru, yaitu menyaksikan bagaimana para guru senior mengajar dan kemudian mereka menirukannya. Setelah tamat dari pendidikan ini, para siswa ditempatkan sebagai guru Volksschool, yaitu SD 3 tahun dengan kurikulum sangat sederhana, yakni membaca, menulis, dan berhitung.

Selain CVO maupun OVVO, terdapat pula Normaalschool dengan lama pendidikan empat tahun. Mereka yang diterima sebagai murid pada sekolah ini ialah mereka yang sudah tamat Kelas V dari Sekolah Pribumi Kelas II, atau Vervolgschool, atau Standaardschool. Selama empat tahun pendidikan, mereka mendapatkan 14 mata pelajaran, mulai dari bahasa daerah, bahasa Melayu, ilmu mendidik, ilmu hitung, ilmu bangun, ilmu tanam-menanam, ilmu hewan, ilmu alam, ilmu bumi, sejarah, menggambar, menulis, menyanyi, pendidikan jasmani, hingga permainan di luar sekolah.

Noormaalschool negeri pertama untuk siswa laki-laki didirikan pada tahun 1915 di sejumlah daerah, yakni Padangpanjang, Jember, Garut, Jombang, dan Makassar. Sedangkan, Noormaalschool pertama untuk siswa perempuan didirikan di Padangpanjang (1918), Blitar (1919), Tondano (1920), dan Salatiga (1933).

Para lulusan Normaalschool ini kemudian ditempatkan sebagai guru pada SD 5 tahun (Tweede Inlandse School/TIS). Selain membaca, menulis, berhitung, para siswa TIS mendapatkan pengetahuan ilmu bumi, pengetahuan alam, dan sejarah.

Salah satu perbedaan dari empat sekolah calon guru sekolah dasar di atas adalah fasilitas belajar mengajar. Mereka yang sekolah di Kweekschool maupun HKS/HIK mendapatkan gedung sekolah yang mewah, yang dilengkapi dengan asrama dan perpustakaan yang lengkap. Sedangkan, kegiatan kursus CVO maupun OVVO tidak memiliki gedung sendiri, tak berasrama, dan tak memiliki perpustakaan. Situasi sedikit baik dialami para siswa Normaalschools yang mendapatkan gedung sekolah yang sederhana dengan perpustakaan yang juga sederhana.

Untuk menjadi guru sekolah menengah (Middelbaar Onderwijs, setingkat SMP dan SMA) pada zaman Hindia Belanda, dibutuhkan akta mengajar yang disebut “MO Akte”. Terdapat dua jenis Akta MO, yaitu MO A dan MO B.

Akta MO A memberi wewenang penuh untuk mengajar dalam mata pelajaran tertentu di tingkat Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yang berarti pendidikan rendah yang diperluas dan HBS. Keduanya adalah pendidikan pada tingkat SLTP. Sedangkan Akta MO B memberi wewenang penuh untuk mengajarkan mata pelajaran tertentu pada tingkat Algemene Middlebare School (AMS), yaitu sekolah menengah umum dan HBS. Keduanya terdapat pada jenjang SMA.

Pendidikan untuk mendapatkan Akta MO pada umumnya hanya tersedia di Belanda. Di Hindia Belanda, terdapat pendidikan untuk mendapatkan Akta MO Ilmu Pasti dan Akta MO A Bahasa Inggris. Pendidikan untuk Akta MO Ilmu Pasti itu dititipkan pada Technische Hoogeschool di Bandung (ITB).

Pendidikan guru pada zaman Hindia Belanda tidak hanya diselenggarakan oleh pemerintah saja, tetapi juga diselenggarakan oleh pihak swasta. Sekolah-sekolah guru swasta hanya ada pada jenjang Normaalschool untuk pendidikan guru bagi SD dengan bahasa pengantar bahasa daerah.