Kemarin aku dan sebagian tim ke kantor untuk buat persiapan area rapat baru di bagian belakang KBRI. Suasana alam khas musim panas masih dapat dinikmati di ruangan tersebut, sebelum musim salju berkunjung menyapa.

Hal ini juga sebagai tafsir atas saran Presiden Jokowi bahwa di dalam situasi krisis, kita mesti dapat mengubah frekuensi kita dari frekuensi yang normal ke frekuensi yang extraordinary. Cara kerja yang berubah, dari langkah kerja yang kebiasaan menjadi langkah kerja yang inovatif dan tetap melacak smart shortcut. Semoga situasi rapat yang berlainan dapat melahirkan ide-ide cemerlang untuk kemajuan organisasi, terutama peningkatan pelayanan publik.

Terkait penataan ruangan, aku mendapatkan usulan menarik dari tidak benar satu staf di KBRI. Katanya, sebaiknya kursi Pak Dubes dibedakan bersama kursi staf lain yang bakal rapat. Tentu aku dapat mengerti gagasan selanjutnya berangkat dari kemauan yang terlalu tulus untuk menghormati dan melayani pimpinan.

Sebagai sekretaris, aku sesudah itu menjawab bersama penuh hormat bahwa Bung Dubes Fadjroel lebih senang yang egaliter. Semua disamakan sebagai manusia. Asal kursi nyaman, maka itu udah lebih dari memadai bagi beliau. Sudah 17 tahun aku menyaksikan beliau nikmati hidupnya bersama langkah itu.

Demikian halnya waktu bakal lakukan perjalanan dinas memakai pesawat, beliau meminta kepada bagian administrasi kantor agar dipesankan kelas ekonomi saja agar sisa dana dapat digunakan untuk menjalankan program yang lain. Katanya, naik pesawat itu sama saja, yang mutlak sampai bersama selamat.

Pada momen peresmian Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Kazakhstan tanggal 19 Juli 2022, Bung Fadjroel memberikan bahwa beliau lebih senang dipanggil Bung. “Saya lebih senang dipanggil Bung. Sejak di kampus aku dipanggil Bung. Saya tidak senang bersama hirarki. Dulu aku dipanggil Bung Jubir, sekarang Bung Dubes. Panggilan Bung diperkenalkan oleh para pendiri bangsa kita gara-gara mereka sudi mendirikan negara yang egaliter. Bagi aku jabatan atau apa pun yang namanya hirarki, itu cuma atribut. Malam ini aku dapat selesai menjadi Dubes dan lagi menjadi orang biasa. Jadi mari kita bersahabat sebagai manusia biasa yang setara”.

Semua Duta Besar dipanggil Yang Mulia, juga Bung Fadjroel. Panggilan ini berlaku seumur hidup. KBBI berikan 3 opsi pengertian dari kosakata “Mulia”, yakni 1 tinggi (tentang kedudukan, pangkat, martabat), tertinggi, terhormat: yang – para duta besar negara sahabat; 2 luhur (budi dan sebagainya); baik budi (hati dan sebagainya): terlalu — hatinya; 3 bermutu tinggi; punya nilai (tentang logam, kalau emas, perak, dan sebagainya): logam –;hendak — bertabur urai, pb jika orang mengidamkan mendapatkan kemuliaan atau mengidamkan mulia di mata orang lain, hendaklah berani mengeluarkan uang, jangan kikir. Bung Dubes Fadjroel, sepertinya mengidamkan lebih fokus terhadap pengertian dan pemanfaatan yang ke 2 dan 3.

Saya melanjutkan percakapan bersama staf tadi, bahwa Bung Fadjroel cuma slot gacor hari ini coba terus berkelanjutan terhadap spirit untuk mendorong demokrasi di negeri yang dulu otoriter, dimana nilai kemanusiaan manusia waktu itu, tidak layaknya waktu ini. Demikian halnya, sebagai alumni Nusakambangan (saat menjadi tahanan politik Orde Baru) beliau studi banyak arti kesamaan nilai manusia.

Oleh gara-gara itu, waktu beliau diberi amanah oleh negara, beliau berusaha tidak membiarkan nilai-nilai yang dulu diperjuangkannya, juga bagaimana pejabat digaji untuk melayani, bukan untuk nikmati fasilitas mewah dari duwit rakyat yang terkumpul di APBN.

Dipilihnya tagline baru #NurSultanTheServingEmbassy juga merupakan bagian dari ikhtiar menjadikan melayani sebagai habitus seluruh tim KBRI.